Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Sabtu, 04 Desember 2010 | 17.42 | 0 Comments

Rahasia di Balik Kesepahaman Swiss (Tabloid Kontras No. 87 Tahun II 31 Mei-6 Juni 2000 )

Ada banyak rahasia di balik suksesnya penandatanganan naskah kesepahaman bersama antara Pemerintah RI dan GAM. Tapi banyak pula faktor yang membuat pertemuan historik itu nyaris gagal. Dr Hassan Wirajuda membeberkannya, hanya kepada Kontras.

Mereka yang cinta damai pastilah bergirang hati dengan mulusnya penandatanganan joint of understanding (JoU) jeda kemanusiaan bagi Aceh, 12 Mei lalu di Bavois, Swiss. Sebab, dengan momentum itu akan dikurangi ketegangan dan penderitaan rakyat Aceh yang satu dekade ini terus-menerus diamuk konflik. Dengan kesepahaman bersama itu akan dinisbikan pula tindak kekerasan dan kematian yang sia-sia seperti terjadi selama ini. Jeda kemanusiaan itu diyakini mampu memompakan kepercayaan diri pada masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat JoU dalam upaya bersama mereka ke arah pencapaian perdamaian yang langgeng di Aceh.

Tapi, sebetulnya, upaya menuju cita-cita luhur itu tidaklah mudah. Berbagai kendala, menurut Dr Hassan Wirajuda, mengganjalnya. Jangan dulu bicara "ganjalan" dari pihak GAM --gerakan yang sejak 1976 berseteru dengan Pemerintah RI. Pihak legislatif RI saja pun ada yang tak setuju JoU itu dilakukan di luar negeri. Mereka terlalu berlebihan mengira bahwa diplomasi Indonesia kalah di mata internasional, karena kasus Aceh sudah berhasil "di-go- international-kan" oleh GAM. Seolah, kasus Aceh akan segera diagendakan di markas PBB Jenewa, yang pada akhirnya menjadi tiket bagi Aceh untuk lepas dari RI. Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia, dirasakan sebagai momok yang menakutkan dan bisa dijadikan rujukan oleh Aceh untuk segera pisah bila kasusnya sudah diagendakan di PBB.

Tapi, menurut Hassan Wirajuda yang dipercaya Presiden Gus Dur mewakili Pemerintah RI dalam perundingan itu, kekhawatiran seperti itu sangat berlebihan. Gus Dur sendiri, katanya, mendapat mandat dari MPR untuk menyelesaikan kasus Aceh melalui dialog. "Nah, pertemuan di Swiss itu berada dalam konteks tersebut," kata Hassan kepada Kontras, Minggu malam.

Bahwa pertemuan itu harus dilakukan di luar negeri, itu karena Indonesia ingin mengakomodir keinginan GAM. Ya, namanya juga berunding: pastilah ada tawar- menawar dan tolak-angsur. GAM sendiri hanya mau berdialog kalau dilakukan di luar negeri dan difasilitasi minimal oleh lembaga independen yang punya reputasi internasional.

Nah, Hassan Wirajuda yang kini menjabat Dubes dan Wakil Tetap Indonesia untuk PBB dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa, dipilih Gus Dur sebagai orang yang tepat untuk bertindak atas nama Pemerintah RI. Apalagi, mediator perundingan itu adalah sebuah yayasan (Henry Dunant Centre) yang juga bermarkas di Jenewa.

Atas pertimbangan itu, pihak Hasan Tiro selaku pimpinan GAM akhirnya setuju perundingan dilakukan di Ibukota Negara Swiss itu. Meskipun sebelumnya Hasan Tiro pernah mempersoalkan, mengapa ia harus berunding ke Swiss, padahal di Stockholm, Swedia --tempat Hasan Tiro kini bermukim-- juga ada Dubes RI.

Saran yang didapat Hasan Tiro dari Wakil Menlu AS ketika Maret lalu melawat ke Negeri Paman Sam, ikut mempermulus proses dialog itu.

Rupanya, AS menganjurkan agar Hasan Tiro duduk berdialog di meja perundingan agar konflik Aceh cepat reda. "Saya mendapat informasi seperti itu dari sumber-sumber di Amerika," ujarnya. Malah, sikap Inggris terhadap Hasan Tiro pun, menurut Hassan, sama-sebangun dengan itu.

Faktor-faktor politis dan "tekanan" luar negeri itu akhirnya mempermulus upaya dialog tersebut. Tapi, di luar itu, upaya menuju penandatanganan JoU Swiss juga pernah hampir gagal. Hassan mengisahkan: Menjelang pertemuan kedua pada 28 Januari, pihak GAM di Swiss dan Stockholm gelisah luar biasa. Soalnya, satu dari empat orang delegasi Aceh yang hadir dalam pertemuan awal di Swiss, setelah pulang ke Aceh, putus kontak. Tak ada lagi komunikasi.

Sudah sepuluh hari lamanya orang tersebut dikontak-kontak lewat telepon ke Aceh, namun tak nyambung. Orang-orang di Swiss dan Stockholm menduga, yang bersangkutan sudah hilang atau terbunuh sekembalinya dari Swiss. Padahal, pihak Indonesia sudah berjanji memberikan jaminan keamanan kepada keempat pria yang datang berunding dari Aceh itu.

Tapi untunglah, kata Hassan, suasana tegang segera mencair, karena sesaat menjelang pertemuan kedua dilaksanakan, orang yang bersangkutan berhasil dikontak via telepon. Darinya juga diperoleh jawaban bahwa dia baik-baik saja dan tak diapa-apakan aparat. Akhirnya, pertemuan di Jenewa itu pun bisa dilanjutkan. "Saya sangat bersyukur, hambatan itu bisa teratasi," tukasnya seraya mengatakan, "Kita menepati apa yang kita janjikan. Buktinya, keempat orang delegasi Aceh itu dijamin keamanannya."

Ada kekakuan
Cerita lain di balik kisah sukses itu, kata Hassan, sempat pula ada rasa kekakuan antara mereka yang berunding. Pascaperundingan kedua, ada orang GAM yang tampak kaku ketika akan disalami Hassan Wirajuda. Badannya tegak dan tampak kurang bersahabat. Namun, sebagai juru runding piawai, Hassan berhasil mencairkan suasana kaku itu dengan
sikapnya yang ramah, familiar, dan humanis.

Hassan sadar, sikap-sikap yang nyaris sama ada pada pribadi Teungku Hasan Tiro. Maka, dengan merangkul Hasan Tiro, banyak ganjalan psikologis yang berhasil diatasi. Komunikasi pun jadi lancar.

"Pendeknya, suasana kedekatan antara para pihak terjalin. Suasana inilah yang ikut membantu mulusnya pertemuan-pertemuan berikutnya," kata ayah empat anak ini.

Hassan mengumpamakan, sikap ramah dan menempatkan "mitra dialog bukan sebagai musuh", telah menjadi building block sekaligus perekat bagi pertemuan lanjutan. Hassan Wirajuda, sebagaimana Wakil GAM, Dr Zaini Abdullah, akhirnya sepakat memaraf naskah kesepahaman itu. Namun, assan memarafnya dengan catatan: disetujui atau tidak oleh Jakarta. Setelah dikonsultasikan ke Jakarta, ternyata tak ada masalah. Go head!

Namun, di saat-saat menjelang nota kesepahaman bersama itu ditandatangani 12 Mei, timbul lagi masalah. Dr Zaini Abdullah keberatan meneken kalau di dalam naskah itu jabatannya sebagai Menteri Kesehatan Aceh Merdeka tidak dicantumkan.

Memang, di dalam naskah tersebut, Dr Zaini hanya bertindak atas nama dan untuk GAM (For the Leadership of the Free Aceh Movement). Sedangkan Hassan Wirajuda bertindak for the government of the Republic of Indonesia.

Menghadapi "interupsi" seperti itu, Hassan Wirajuda secara diplomatis bilang, "Kenapa hal itu tidak dipersoalkan ketika menyusun naskah tempo hari sebelum diparaf."

Hassan juga menyatakan bahwa dia bertindak bukan atas nama jabatannya sebagai Dubes dan Wakil Tetap RI di Jenewa, melainkan hanya atas nama Pemerintah RI. Akhirnya, "khilafiah" itu terselesaikan, dan dengan bismillahirrahmanirrahim akhirnya, Zaini dan Hassan masing-masing membubuhkan tandatangannya. Lalu, mereka bertukar naskah. Sejurus kemudian mereka bersalaman akrab dan bertukar cenderamata.

Hassan Wirajuda sengaja menyiapkan pulpen yang lumayan mahal untuk diberikan kepada mitra rundingnya. Yang menarik dan sekaligus menyentuh: di pulpen itu ia grafir kata "for brotherhood and humanity" (untuk persaudaraan dan kemanusiaan! Kalimat itu, sungguh menyejukkan dan penuh makna.

Dalam semangat itu pula, bantuan-bantuan kemanusiaan dan jaminan modalitas keamanan akan diberikan untuk Aceh. Minimal, untuk tiga bulan ke depan, terhitung 2 Juni 2000.

Tapi, menurut Hassan, jangan kira masa jeda kemanusiaan itu hanya tiga bulan. Sebab, dua minggu menjelang batas akhir akan dibahas kembali untuk diperpanjang. "Kita ingin masa jeda kemanusiaan itu bisa berlangsung lebih lama, sehingga banyak upaya damai dan bermanfaat yang bisa kita lakukan dalam cakupan waktu tersebut," katanya.

Ia mengisyaratkan, 200-an sekolah yang hangus terbakar semasa konflik Aceh berkecamuk akan direhab di masa-masa jeda kemanusiaan itu. Begitu pula mereka yang memerlukan rehabilitasi fisik maupun psikis akibat deraan konflik. Sedangkan mantan pengungsi yang mengalami kerugian juga akan disantuni. Termasuk akan diupayakan ganti rugi bagi para korban yang terbakar rumahnya (Baca: Rumah Dibakar, Lahan Telantar).

Hassan menginformasikan, sudah dicoba himpun orang-orang yang akan duduk di komite bantuan kemanusiaan dan bantuan jaminan keamanan. Juga untuk tim pemantau. Mereka umumnya direkrut dari Aceh sendiri, atau orang luar yang sama-sama disetujui oleh pihak RI dan GAM. "Tapi, saya boleh beberkan siapa saja mereka," kata Hassan.

Selama tiga hari berada di Banda Aceh, Hassan menangkap misfeelling (perasaan bercampur) antara antusiasme yang besar merespon jeda tersebut dan kekhawatiran apakah JoU itu akan berhasil atau justru gagal.

Pandangan skeptis seperti itu, menurutnya, tak terlepas dengan adanya rentetan peristiwa kekerasan pasca-penandatanganan dan sebelum berlaku secara efektifnya JoU itu terhitung 2 Juni mendatang. "Hal itu, saya kira satu kekhawatiran yang wajar. Tapi sebaliknya, juga hendaknya tidak menghapus harapan dan niat baik kedua pihak untuk menyukseskan jeda kemanusiaan tersebut." Ia mengingatkan, jeda kemanusiaan ini hanyalah terminal. Jangan berasumsi jeda kemanusiaan ini usianya hanya tiga bulan. Dua minggu menjelang berakhirnya masa tiga bulan itu, para pihak akan duduk lagi memperbarui bahkan memperpanjang masa jedanya. "Kita harapkan masa jeda itu berlanjut terus dan itu akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam kesepahaman bersama ini dalam upaya mereka ke arah pencapaian solusi damai yang langgeng di Aceh," kata Hassan.

Semoga, apa yang sudah dicapai dengan susah payah itu tidak sia- sia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.