Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Jumat, 22 Oktober 2010 | 14.21 | 1 Comments

Salah Pileh Pemimpen? Bek Le Lah!

"Jak beutrok, ngieng beudeuh, bek rugou meuh, saket hatee."


Hadih Madja Aceh yang umum dipakai dalam konteks jodoh itu relevan juga untuk dipakai dalam hal pemilihan pemimpin. Soalnya, saat ini sedang berlangsung trend perasaan salah pilih pemimpin.

Lihatlah demo-demo yang digelar di berbagai daerah yang ujungnya bisa dipahami sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap pemimpin yang ada. Dalam bahasa Aceh disebut "ka salah pileh." (salah pilih).

Salah pileh atau salah pilih bukan hanya milik bangsa Indonesia atau Aceh atau juga daerah dan negeri lainnya. Salah pilih pemimpin juga pernah menghinggapi masyarakat Amerika. Presiden yang diklaim banyak orang sebagai produk salah pilih adalah Warren Gamaliel Harding, Presiden AS ke 29 dari Partai Republik. Dialah presiden keenam AS yang meninggal di kala masih menjabat karena stroke. Bahkan, kebanyakan sejarahwan menilai dialah salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah Amerika.

Mengapa Warren dinilai sebagai produk salah pilih? Dan, mengapa sampai ia bisa disebut sebagai produk salah pilih? Dari kisahnya, Aceh bisa memetik pelajaran sehingga tidak mengulangi apa yang pernah terjadi dibelahan dunia lain pada tahun 1921 - 1923. Jika ini terjadi maka Aceh sudah terlalu banyak mengalami masa kemunduran. Hanya keledai yang mungkin jatuh ke lubang yang sama, berkali-kali.

Saya menemukan jawaban salah pilih produk pemimpin itu di tulisan Warren Harding Error dalam buku berjudul "blink" karangan Malcolm Gladwell. Berikut petikan bebasnya:

Sungguh, pria kelahiran Blooming Grove, Ohio yang kemudian terpilih menjadi Presiden AS, Warren, bukanlah orang yang yakin dengan kemampuannya sebagai pemimpin. Ia bukanlah orang yang sangat cerdas. Ia gemar bermain poker, golf, dan minum-minum sampai mabuk, dan kerap tampil sebagai perayu perempuan.

Tapi, berkat seorang "makelar" politik bernama Harry Daugherty, Warren Harding berhasil dihantar ke tampuk kekuasaan AS, menjadi orang nomor satu. Bagi Daugherty, hanya dengan mengamati sekejap sosok Harding ia langsung membuat kesimpulan yang kemudian memang terbukti benar namun sekaligus kebenarannya telah mengubah sejarah Amerika ke arah yang buruk karena kepemimpinannya.

Apa yang membuat Daugherty berani meyakinkan Harding untuk mencalonkan diri menjadi Presiden kendati berlawanan dengan penilaian Harding sendiri soal kemampuannya.

Rahasinya ada pada keadaan umum orang yang memang banyak menggunakan pandangan sekilas (blink) sebagai dasar dalam pengembilan keputusan. Sering sekali tanda-tanda umum dijadikan landasan untuk memutuskan si A menjadi pasangannya hanya karena ia sudah memenuhi bayangan alam bawah sadarnya tentang pasangan ideal. Begitu juga dalam hal siapa pemimpin ideal. Bayangan tentang kisah pemimpin yang digambarkan dalam mitos kerap menjadi dasar dalam memutuskan siapa yang harus kita pilih.

Alam bawah sadar kita ternyata memang lebih banyak menyimpan informasi, yang kadangkala tidak pernah mengalami updating. Bahkan, yang lebih parah, rekaman informasi permukaan membanjiri pita rekaman memori alam bawah sadar kita.

Dalam konteks Aceh misalnya. Selama 30 tahun konflik, terlalu banyak informasi permukaan yang tersimpan di memori bawah sadar kita. Belum usai satu peristiwa tercerna dengan baik sudah muncul ragam peristiwa baru dan begitu seterusnya sehingga nyaris tidak dimengerti lagi mana informasi yang benar, masuk akal, dan bermanfaat bagi diri, lingkungan, dan masa depan. Bahkan, sejarah pun ditulis dengan tanpa punya kesempatan untuk mengkritisinya.

Akibatnya, ketika dihadapkan pada keharusan untuk menetapkan pilihan dan atau membuat keputusan maka blink lah yang memainkan peran dan think (pikiran) menjadi tidak berdaya, termasuk dalam hal pemilihan pemimpin. Akhirnya, kembali pada kebiasaan yang sudah terpendam lama di setiap diri dengan menjadikan tampilan dan penampilan atau sosok (luar) sebagai panduan dalam membuat keputusan atau menjadikan informasi permukaan sebagai alasan sebuah pilihan ditetapkan.

Begitulah cara Daugherty memastikan Hording menang menjadi Presiden AS. Ketampanannya, suara bicaranya, dan tatapan matanya yang memang memancarkan martabat seorang presiden menjadi modal utama dan memang berhasil menjadikannya sebagai presiden.

Tapi, apa yang terjadi kemudian? Ia kemudian meninggal tiba-tiba karena stroke. Menurut Gladwell, kesalahan bangsa Amerika sampai memilih Warren Harding sebagai presiden merupakan sisi gelap dari pemahaman cepat (rapit cognition).

Jika di Aceh ada ungkapan han sanggop tapike atau han ek pike atau "tak naik pikir" maka ini gejala atau fenomena bahwa alam bawah sadar kita sudah terlalu mendominasi alam sadar sehingga segala sesuatu besar kemungkinan diputuskan dengan cara pemahaman cepat, yang akhirnya berpeluang pada salah pileh alias salah pilih.

Maka, tidak sangat bijak untuk secara cepat menyalahkan sang pemimpin yang adalah produk dari pilihan kita sendiri. Sikap cerdas adalah kita yang harus melakukan perubahan dalam dunia pilih memilih pemimpin dengan cara mengubah cara pandang kita dari cara berpikir cepat menuju berpikir dalam dan mengubah sudut pandang kita.

Sungguh, mengubah dunia bisa dilakukan dengan mengubah cara pikir dan sudut pandang diri sendiri alias mengubah diri dan bukan memaksa meminta orang lain untuk berubah.

Seulamat menelusuri sosok pemimpin Aceh sejak dini "mangat bek rugo meuh saket hatee. "

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Repot-repot bingung-bingung, pilih abang ajalah... ;)

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.