Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Minggu, 24 Oktober 2010 | 13.57 | 0 Comments

Peujaga Teungeut Gerakan Sosial Aceh

Gerakan Sosial Aceh (GSA) sudah mati (suri) sejak detik-detik MoU Helsinki dilangsungkan. Meski begitu, sebuah gerakan sosial selalu akan menemukan momentum kebangkitannya kembali seiring tumbuhnya kesadaran bersama. Dan, untuk kasus Aceh, proyek Nasionalisme Aceh yang belum usai dibangun bisa menjadi pematik ulang kebangkitan GSA.

Menurut apa yang tertulis di wikipedia (cara cepat cari tahu hehe) gerakan sosial (bahasa Inggris:social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa gerakan sosial memiliki siklus hidup, yang kurang lebih berupa kurang-lebih sebagai berikut: diciptakan, tumbuh, pencapaian sasaran akhir atau berikut kegagalannya , terkooptasi dan kehilangan semangat. Jadi, pertumbuhan dan kematian atau kemandegkan menjadi sesuatu yang wajar adanya. Pertanyaannya, mengapa gerakan sosial Aceh yang dulunya sempat tumbuh dan menguat mengalami kematian suri?

Sebelum menjawab sebab-sebab kematian suri GSA ada baiknya sedikit melihat ragam jenis gerakan sosial. Meski tidak terlalu dalam, ulasan yang di comot dari blog tetangga berikut bisa menjadi awal kajian lebih lanjut, khususnya para peneliti, analis, dan lainnya.

Pertama, Gerakan Protes. Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.

Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.

Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.

Ketiga, Gerakan Religius. Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

Kelima, Gerakan Perpindahan. Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

Keenam, Gerakan Ekspresif. Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

Ketujuh, Kultus Personal. Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.

Pertarungan: Ketika Ide Dikalahkan oleh Politik dan Sosok
GSA mati suri sungguh bukan dikarenakan ketiadaan ide untuk mengubah keadaan Aceh agar bisa keluar dari keadaan sebelumnya yang diklaim telah gagal mengantar Aceh keluar dari masa lalu yang gelap. GSA mati suri karena menyerahkan sepenuhnya kontruksi keacehan kepada pihak yang kemudian menjadi penentu nasib Aceh.

MoU Helsinki adalah bukti nyata betapa GSA berubah dari gerakan ide yang brilliant menjadi gerakan doa yang arif. Tidak ada sama sekali sumbang pikiran yang dihasilkan dari duek pakat mereka yang selama kejatuhan rezim Soeharto ambil bagian dalam GSA. Seluruh naskah MoU Helsinki terlepas dari pemahaman yang dipahami dengan benar dan utuh oleh komponen masyarakat sipil di Aceh. Buktinya, setelah usia MoU Helsinki mencapai 5 tahun konsep Self Government masih belum menjadi pemahaman bersama. Pemahaman tentang Self Government hanya menjadi milik utuh para pihak, yang ternyata memiliki tafsir masing-masing. Satu pihak menganggap itu beda dengan otonomi sedangkan pihak yang lain menganggap itulah otonomi Aceh.

Akibatnya, mereka-mereka yang sejak awal tidak begitu rela dengan MoU Helsinki kembali menarik isu ini ke bahasa politik masa lalu yakni "Aceh kembali ditipu oleh Jakarta." Lantas, bagaimana dengan GSA? Jelas tidak punya pandangan dan kembali menjadi pihak yang terbelah, terus mendukung MoU Helsinki atau ikut serta menggugat MoU Helsinki minimal mempertanyakan keberadaan dan peran juru runding atau menariknya dalam pengertian telah terjadi korupsi idiologis.

Nasionalisme Aceh: Proyek Ide yang Belum Selesai
Nasionalisme Aceh yang dulu sempat menjadi spirit dan ethik kebangkitan masyarakat sipil Aceh masih bisa menjadi media pemicu kebangkitan ulang GSA di bumi Serambi Mekkah. Ada banyak alasan mengapa Nasionalisme Aceh masih menjadi hal penting bagi Aceh. Salah satu adalah belum juga terjadi apa yang disebut kebangkitan rasa kenanggroan secara bersama dari seluruh anak bangsa Aceh untuk apa yang disebut kepentingan masa depan Aceh: hidup lebih baik agar bisa sejajar dengan anak-anak bangsa lain di Indonesia, Asia, dan Dunia.

Karena itu, menumbuhkan kembali lingkaran-lingkaran atau kelompok ide diberbagai kelompok menjadi sangat penting. Pada saat yang sama menumbuhkan kesadaran kelas juga menjadi sangat mendesak agar gerakan yang berbasis isu mendapat dukungannya dari berbagai komponen masyarakat yang memang sampai saat ini masih teralienasi dari dinamika pembangunan Aceh.

Pertukaran siklus kekuasaan di Aceh tidak boleh menjadi penggoda bagi GSA karena siapapun yang berkuasa godaan kekuasaan akan membuka ruang bagi terjadinya "pendangkalan aqidah pembaharuan keacehan." Disinilah makna GSA penting untuk dihidupkan kembali setelah mengalami kematian suri sejak detik-detik MoU Helsinki dialngsungkan.

Hanya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memformulasikan GSA agar ia bisa menjadi media bagi membangun kesadaran bersama. Sebuah pertanyaan yang membutuhkan tidak hanya sekedar renungan melainkan juga butuh kajian dan diskusi yang terus menerus. Ada yang mau? 

Catatan Lepas Usai Diskusi Prodelat, 23 Oktober 2010 di Warkop Atlanta
Peujaga Teungeut : membangunkan tidur

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.