Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Selasa, 25 Januari 2011 | 12.57 | 0 Comments

Peta Pemilukada Aceh: Menanti Aneuk Nanggroe Jadi Pemimpin

Read more
Rabu, 05 Januari 2011 | 18.28 | 0 Comments

Karena Rakyat Adalah Raja

ISTANA RAJA


Foto di atas adalah lukisan hasil imajinasi Sayed Dahlan berdasarkan hasil bacaan sejarah Aceh. Sudah barang tentu di semua negeri istana adalah tempat tinggal raja dan keluarganya dan mungkin saja juga untuk mereka-mereka yang memiliki hubungan dengan kerajaan. Sungguh bukan hal yang mustahil jika Istana Daruddinia itu kembali dihadirkan. Tentu bukan untuk kembali menghidupkan sistem monarki melainkan sebagai mesium yang bisa dinikmati oleh rakyat Aceh dan mereka yang ingin mengetahui lebih dekat tentang sejarah Aceh. Bagi rakyat, ini adalah salah satu fasilitas berstandar para raja karena rakyat Aceh bisa mengenali milik masa lalunya. Semua raja adalah sosok yang memiliki ingatan dan catatan tentang sejarah masa lalunya. Begitulah seharusnya seorang raja. Jika Istana Daruddunia dihadirkan dan berfungsi sebagai musium itu artinya Pemerintah Aceh telah memberi satu standar hidup berkualitas para raja kepada rakyat Aceh.

Berikut merupakan salah satu monumen budaya paling penting di negeri ini, sejak 1960-an itu telah menjadi salah satu tempat wisata utama di Wina. Istana dan taman-taman menggambarkan selera, kepentingan, dan aspirasi Raja Habsburg berturut-turut. Berikut fotonya dari hasil pencarian di mesin pencari google.




Ruang Publik Raja

Zaman dulu, Aceh memiliki apa yang disebut Bustanussalatin atau taman raja-raja. Juga di kenali Pinto Khop dan Taman Gairah. Intinya, raja dan permaisuri atau ratu serta keluarga kerajaan dimanjakan dengan lingkungan yang asri, indah, sejuk dan nyaman karena mengalir air yang bening sebagaimana terlihat dari beberapa foto dibawah ini.








Saat ini, fasilitas yang pernah dimiliki oleh para raja dan keluarganya itu tentu sangat bisa diwujudkan kembali dalam bentuk penataan taman kota yang menyediakan ruang publik yang bisa jadi lebih indah dari apa yang sudah ada sebelumnya, diseluruh wilayah di Aceh sebagaimana yang sedang di tata di Banda Aceh (2 foto) dan di negara lain (Bodnant, Wales 1 foto) sebagaiman terlihat dari beberapa foto di bawah ini. Jika Pemerintah Aceh di semua daerah mampu menghadirkan ruang publik terbuka yang bisa dinikmati oleh rakyat itu tandanya sudah memposisikan rakyat Aceh sebagai raja.










Peunajoh Timphan Piasan Rapai




Semua raja-raja di dunia memiliki makanan dan persembahan musik dan tarian yang sudah barang tentu sangat nikmat, bergizi dan menarik juga merdu. Juga tidak mustahil jika semua itu kembali dihadirkan saat ini untuk disuguhkan kepada rakyat Aceh melalui pusat-pusat kuliner Aceh baik yang dihadirkan secara permanent maupun yang dihadirkan secara terjadwal baik melalui pendekatan tempat atau lokasi maupun  melalui pendekatan acara yang dibuat secara terjadwal atau bahkan ada Pusat kuliner Dunia 24 JAM. Disana dan saat itulah rakyat akan mendapatkan makanan yang enak, sehat dan bergizi sambil ditemani oleh tarian atau musik yang indah dan enak di dengar untuk menghibur hati dan memanjakan diri sebagai rakyat yang sudah berkarya atau sebagai wujud syukur pada limpahan rezeki untuk negeri.





Tentu saja banyak hal lain yang dulu pernah bisa diberikan kepada para raja dan keluarganya juga bisa diwujudkan sekarang untuk disuguhkan kepada rakyat Aceh, termasuk mendorong kemungkinan semua rakyat Aceh memiliki fasilitas rumah yang layak huni bahkan juga asri yang juga berguna untuk mendukung penghijauan kota. Selain rumah, rakyat Aceh juga sangat dimungkinkan untuk mendapat fasilitas pendidikan dan layanan kesehatan terbaik serta juga layanan transportasi yang nyaman.

Memposisikan rakyat Aceh sebagai raja sangat dimungkinkan karena Aceh saat ini memiliki apa yang disebut dengan Peace Deviden sampai dengan 2027. Jika pemerintah mampu memaksimalkan hasil pembangunan dan menjadikan Aceh sebagai lahan investasi yang aman dan mudah bagi rakyat dan semua pihak pasti akan lebih memungkinkan lagi bagi usaha menjadikan rakyat sebagai raja di Aceh.
Read more
Senin, 20 Desember 2010 | 16.54 | 0 Comments

Aceh, Negeri Tiga Wali

Jika sekiranya Rancangan Qanun Wali Nanggroe jadi di sahkan menjadi Qanun tentang Wali Nanggroe maka Aceh sudah bisa dikatakan sebagai Negeri Tiga Wali. Terlepas apakah wujud Wali Nanggroe akan lebih sesuai dengan semangat self-government atau hanya sesuai dengan semangat UUPA itu artinya Aceh sudah menjadi “Negeri Tiga Wali” karena ada tiga katagori wali yang akan menentukan corak keacehan. Tiga Wali itu adalah Wali Allah, Wali Al-Amr, dan Wali Nanggroe.

Wali Allah

Kiranya tidak terlalu berlebihan jika penyanyi Aceh, Rafly sampai pada potongan syair yang menegaskan bahwa Aceh adalah bumi tanoh aulia. Hanya saja, saya yakin kalau yang dimaksud oleh Rafly sebagai tanoh aulia itu lebih kaitannya dengan Wali Allah atau Waliullah. Dasarnya tentu sangat kuat baik secara teologis maupun secara antropologis.

Hal itu bisa dimaklumi karena memang tradisi pemikiran Islam di Aceh dipenuhi dengan dialog-dialog kesufian dan pada saat yang sama banyak tokoh-tokoh agama di Aceh yang sangat akrab dengan tradisi kesufian. Meski diantara mereka saling berbeda pendapat atau aliran namun hampir semuanya menjadi pengikut dan bahkan menjadi pengembang tasauf baik untuk Aceh maupun keluar Aceh. Bahkan, beberapa Wali Songo kabarnya memiliki garis hubungan pendidikan atau bahkan hubungan keturunan dengan Aceh.

Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf atau Syiah Kuala adalah beberapa diantara ulama besar di Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Aceh dan semuanya memiliki garis kesufian dengan masing-masing aliran tasaufnya sendiri. Jika Hamzah Fansuri lebih dikenal dengan faham Wahdatul Wujud maka Nurruddin Ar-Raniry lebih dikenal dengan faham Wahdatul Syuhud. Sedangkan Syech Abdurrauf yang juga dikenal dengan dengan gelar "Rajulu yusaawi uluufa rijaali" (Seorang laki-laki yang sama nilainya dengan beribu-ribu laki-laki) lebih dikenal dengan tarikat Syattariyah.

“Elit spiritual” di Aceh tentu saja tidak terbatas pada zaman kesultanan atau kerajaan. Banyak sekali ulama-ulama atau Tengku di Aceh yang alim dan bahkan dipandang sebagai aulia oleh masyarakat baik pada zaman perang melawan Belanda maupun hingga saat ini. Hampir semua ulama-ulama yang dihormati dan diikuti oleh masyarakat memiliki garis kesufian yang tentu saja sangat akrab dengan kaedah-kaedah kewalian. Tengku Ibrahim Woyla yang berpulang tahun lalu juga dikenal sebagai sosok Aulia Tuhan.

Jadi di Aceh Wali Allah tidak hanya hidup secara teologis dalam kajian dan pemikiran keislaman ulama di Aceh tapi juga secara antropologis bisa ditemukan sosoknya di Aceh, minimal dalam pengertian atau yang mendapat pengakuan dari masyarakat. Semua “elit spiritual” itu bukan hanya dipahami sebagai sosok yang memiliki kualitas spiritual saja melainkan juga sebagai sosok yang memainkan peran sosial hingga peran politik baik dalam konteks menjadi mitra sultan maupun dalam konteks sebagai pemimpin perlawanan atau hanya sebatas pemimpin non formal di masyarakat.


Wali Al-Amr

Kewalian tentu tidak hanya dikenal dalam kazanah kesufian saja. Dalam khazanah figh juga dikenal istilah wali dan amir yang kala disatukan menjadi “wali al-amr” atau yang dalam bahasa Arabnya "waliy-u 'l-amr" yang bermakna penguasa atau pemerintah.

Memang, terkait dengan siapa yang dimaksud dengan “wali al-amr” ada beda pendapat. Ada yang menyatakan mereka yang ahli agama (ulama) tapi ada juga yang menyatakan umara atau amir (penguasa). Namun, bagi Imam Al-Mawardi lebih condong ke umara atau penguasa dari pemimpin tertinggi hingga terendah. Pemimpin tertinggi dan jajarannya masuk dalam “wulad” (mufradnya wali sebagai singkatan dari waliy-u 'l-amr) dan umara (tunggalnya amir) yaitu penguasa yang diberi kewenangan dalam satu urusan tertentu, atau suatu daerah kekuasaan tertentu. Jadi wilayah kekuasaan “Wali Al-Amr” sudah masuk ke wilayah publik dalam lingkup hukum publik (al-ahkam al-sulthaniyah). Ini untuk membedakan dengan wali anak atau wali nikah misalnya yang lebih ke wilayah kekuasaan natural atau alamiah.

Jika dicermati uraian Imam Al-Mawardi lebih lanjut tentang 20 kewenangan yang dimiliki oleh “Wali Al-Amr” maka mulai yang namanya khilafah atau presiden dan selanjutnya (para pembantunya) adalah “Wali Al-Amr” karena kepada mereka sudah melekat akad dan juga legalitas atau otoritas (tauliyah).

Dari penjelasan singkat dan sederhana itu bisa dipahami bahwa Gubernur Aceh beserta perangkatnya bisa juga disebut dengan Wali, atau lengkapnya “Wali Al-Amr” karena dipilih, diikat janji, dan diakui serta diberi kewenangan dalam urusan tertentu dalam wilayah publik dan hukum publik.

Salah satu ayat Quran yang sudah umum diketahui terkait Wali Al-Amr adalah “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah rasulNya dan "ulil amri" dari kalian...” (An-Nisa 59).


Wali Nanggroe

Sulit untuk melacak argumentasi filosofis yang kuat mengapa dua otoritas yang sudah ada dan hidup dalam tatanan sosial keacehan itu belum cukup dan karenanya masih diperlukan satu bentuk wali lagi di Aceh, yakni Wali Nanggroe. Adakah itu terkait dengan kesadaran sejarah Aceh, sosio-kultural atau lebih karena imajinasi politik semata untuk kepentingan politik identitas dalam rumah kebangsaaan Indonesia.

Jika dikatakan konsepsi Wali Nanggroe memiliki legalitas sejarah maka penting untuk menyusun patahan-patahan sejarah Aceh untuk melihat garis kesinambungannya sehingga tidak dikemudian hari justru dipahami sebagai suatu "kudeta politik" ala Aceh.

Sebaliknya, jika Qanun Wali Nanggroe ditempatkan sebagai imajinasi politik keacehan yang diletakkan dalam kerangka pemaknaan self-government maka penting untuk dipikirkan secara lebih matang, dalam dan terbuka terutama kaitannya dengan bahasan model; monarki, teokrasi, aristokrasi, atau demokrasi sehingga kehadirannya akan menjadi lebih bermakna kala diletakkan dalam kerangka kebhinnekaan Indonesia.

Apapun itu, saya melihat penghadiran Wali Nanggroe kali ini, meminjam istilah Nezar Patria, merupakan “rasukan” politik kedua setelah sebelumnya Hasan Tiro pernah “dirasuki” oleh tugas sejarah hasil tafsir sejarah Aceh yang ia pahami. Dengan kata lain, bisa menjadi cara pandang baru dalam konteks perubahan iklim perpolitikan nasional.

Terakhir, apapun difinisi difinitif yang akhirnya dipakai nantinya yang jelas keberadaan Wali Nanggroe secara nyata di Aceh akan menjadi bagian yang akan menentukan corak keacehan lebih lanjut sekaligus akan menegaskan bahwa Aceh akan segera menjadi Negeri Tiga Wali baik untuk menjaga moralitas kedirian (waliullah), kesejahteraan, keadilan dan keamanan (wali al-amr), dan spirit keacehan (wali nanggroe).

Meski begitu, penting untuk mewaspadai peringatan Allah pada pengaruh buruk dan jahat dari apa yang disebut dengan Wali Syetan dan diatas segalanya tentu sangat penting untuk menyakini firman Allah berikut “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam keadan ruku.” (Al Maidah 55).
Read more
Minggu, 05 Desember 2010 | 14.53 | 1 Comments

Prisip-Prinsip Naskah Perdamaian Darussalam

Disampaikan Dewan Rovolusi Darul Islam dalam perundingan dengan Delegasi
Pemerintah Pusat (Misi Hardi) pada tanggal 25 Mei 1959
1. Propinsi Aceh, dirobah menjadi Daerah Istimewa dengan nama DAERAH
ISTIMEWA ACEH DARUSSALAM.

2. DAERAH ISTIMEWA ACEH DARUSSALAM mendapat hak otonomi yang
seluas-luasnya

3. Pemerintah mewajibkan ummat Islam di Aceh Darussalam menjalan syari’at
agamanya, sesuai dengan Piagam Jakarta.

4. Tentara Islam Indonesia diterima menjadi Tentara Nasional Indonesia
dalam suatu kesatuan yang bernama pasukan Tengku Chik Di Tiro.

5. Pegawai-pegawai sipil/Polisi NBA harus diterima menjadi Pegawai
Sipil/Polisi Republik Indonesia.

6. Tenaga lebih dari militer, sipil dan polisi harus ditampung dalam
perusahaan-perusahaan yang berbentuk hukum, yang dibangun oleh Dewan
Revolusi dengan modal, subsidi dan kredit dari Pemerintah serta kredit
dari Luar Negeri.

7. Selama masa peralihan, supply sebanyak T.I.I yang menggabungkan diri
dengan index perseorangan Rp. 1.000,- sebulan, harus diberi oleh pusat.

8. Pemerintah pusat harus memberi ganti kerugian terhadap harta benda
rakyat, sesuai dengan konsepsi Prinsipil dan Bijaksana.

9. Amnesti, abolisi dan rehabilitasi harus diberikan kepada semua
pejuang-pejuang NBA, baik yang masih maupun hidup maupun yang telah
syahid.

10.DPR Propinsi, Kabupaten-kabupaten dan Kotapraja Kuta Raja dibubarkan
dan diganti dengan DPR-DPR sementara yang baru.

11. Penempatan segera tenaga-tenaga Aceh di Pusat terutama dalam
Lembaga-lembaga Demokrasi.

12.Segera membangun Aceh dalam segala lapangan.

Sumber: info sheet, forum lws aceh, edisi oktober 1998 yang dikelola oleh lukman AG dibantu oleh Azwar Nurdin
Read more
Sabtu, 04 Desember 2010 | 18.21 | 2 Comments

Mengenang Teungku Abdullah Syafiie, Panglima Perang AGAM

Teungku Abdullah Syafiie
Panglima AGAM Dikasih Bedil, Aceh Jadi Debu
   
Hari Ahad, 6 Agustus 2000, Panglima Perang AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, mengunjungi salah satu salah satu markas GAM di pedalaman kabupaten Pidie. Di markas yang berjarak beberapa kilometer dari perkampungan penduduk tersebut berkumpul sekitar 500 prajurit AGAM. "Sejak perjanjian Jeda Kemanusiaan diteken di Swiss 12 Mei lalu, semua pasukan AGAM kawasan barat Pidie berkumpul di markas ini," kata seorang tokoh GAM di sana.
  
Tokoh AGAM yang menolak disebutkan identitasnya itu mengaku selama ini mereka menjalani latihan fisik dan pendalaman ajaran Islam, pengkajian ilmu politik, serta sejarah perjuangan bangsa-bangsa dunia melawan penjajahan.
  
Panglima Komando Pusat AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, dalam amanatnya berbahasa Aceh ketika meninjau markas GAM tersebut, antara lain, menyatakan, "Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi."
  
Sesama bangsa Aceh, wejang Abdullah Syafiie kepada prajuritnya, kita harus benar-benar saling setia. Tentara Aceh Merdeka harus bersikap seperti tentara Islam. Jangan meniru sifat kaum penjajah. Jangan ambil contoh pada kaum imperialis dan kolonialis. "Jangan sampai saya dengar ada tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu," ujarnya mewanti-wanti.
  
Hari ini, kata Abdullah Syafiie, tentara AGAM mendapat dukungan penuh dari rakyat Aceh. Baju yang mereka pakai milik rakyat Aceh. Makanan pun diberikan oleh rakyat Aceh. "Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah," ujarnya dalam bahasa Aceh yang fasih.
  
Tentara AGAM, menurut Abdullah Syafiie, adalah anak-anak rakyat Aceh. Oleh karena itu, ia minta jangan sampai jadi pengkhianat terhadap rakyat Aceh. Jangan sampai ada tentara AGAM yang memarah- marahi masyarakat. "Kalau ada di antara tentara Aceh Merdeka yang mengancam bangsa Aceh, akan kami kenakan sanksi militer," tegasnya bernada mengancam.
  
Setiap tindakan pasukan AGAM, diingatkan juga harus mematuhi aturan-aturan perang, jangan sampai bertentangan dengan aturan perang (Hukum Humaniter Internasional) dan hak-hak asasi manusia. Hukum-hukum tersebut agar terus dipelajari, jangan sampai ada tentara AGAM yang melanggarnya. "Dengan tidak ada pelanggaran- pelanggaran terhadap hukum tersebut, insya Allah, Aceh akan segera merdeka," katanya.
  
Sekarang, lanjut Abdullah Syafiie, bukan zamannya lagi kita berperang dengan senjata. Kita harus mampu memerdekakan Aceh melalui perang politik dan diplomasi. "Dengan penandatangan JoU di Swiss, kemerdekaan sudah kita raih 50 persen," simpulnya.
  
Abdullah Syafiie mengatakan untuk sementara ini kepada pasukan AGAM tidak diberikan senjata. "Senjata akan diberikan kembali nanti setelah Aceh sudah merdeka, tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan. Kalau hari ini kami kasih senjata, nanti negeri Aceh akan menjadi debu," katanya.
  
Sekarang, kata Abdullah Syafiie melanjutkan, perjuangan untuk memerdekaan Aceh, 80 persen harus dilakukan melalui politik dan diplomasi. Hanya 20 persen boleh dengan kekuatan militer. "Itu pun jika dipandang perlu," katanya.
  
Abdullah Syafiie mengharapkan seluruh tentara Aceh Merdeka agar sungguh-sungguh mempelajari hukum-hukum internasional. Tidak akan menang sebuah perang dengan hanya mengandalkan kekuatan militer. "Sebuah perang akan menang dengan kekuatan-kekuatan hukum, kekuatan politik, dan kekuatan diplomasi," wejangnya. Walaupun demikian, ujar Abdullah Syafiie, jika perang secara militer terpaksa dilakukan, maka diingatkan tidak ada seorang pun tentara AGAM yang mundur dari medan pertempuran. "Akan tetapi, kalau memang dipandang perlu, bukan hanya kepada tentara laki-laki, kepada yang perempuan pun akan diberikan bedil," katanya. Oleh karena itu, Abdullah Syafiie meminta kepada tentara AGAM agar tidak takut kalau sesewaktu dipanggil untuk berperang. "Sudah berapa banyak bangsa Aceh ditangkap, dianiaya, dibunuh, dan diperkosa. Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang berkalang tanah," ujarnya bersemangat.
  
Abdullah Syafiie sangat optimis bahwa bangsa Aceh akan kembali merebut kemerdekaan. "Bangsa Aceh sanggup mengusir penjajah Belanda, kenapa yang lain tak sanggup?" tanya dia. "Coba lihat, bagaimana bangsa Vietnam sanggup mengalahkan Amerika. Begitu juga semangat jihad bangsa Afghanistan, sanggup mengalahkan negara raksasa Uni Soviet," katanya menunjuk contoh.
  
Abdullah Syafiie mengakui bahwa dalam hukum internasional, negara Aceh memang belum berdiri. Akan tetapi, dunia internasional, katanya, sudah memberikan perhatian terhadap perjuangan kemerdekaan Aceh. "Hari ini, ada bangsa Aceh sedang bersidang di Swiss membahas penentuan kemerdekaan bangsa Aceh," katanya.
  
Kepada tentara AGAM yang selama ini mendapat pembinaan di markas-markas, Abdullah Syafiie mengingatkan supaya memiliki darah Islam yang pemberani. Menjadi penyuluh masyarakat. Menjadi tongkat dan cermin bagi masyarakat. "Pekerjaan yang baik tidak boleh berasal dari permulaan yang jelek," ujarnya berfalsafah.
  
Pekerjaan bangsa Aceh menegakkan kemerdekaan, menurut Syafiie, dilindungi oleh hukum internasional dan PBB. Ketentuan PBB yang dikeluarkan tahun 1946, mengharamkan penjajahan di atas muka bumi.
  
Tapi, sampai sekarang masih ada yang menjajah bangsa Aceh. "Penjajahan melanggar keamanan dunia," tukasnya. "Setiap bangsa berhak atas kemerdekaan. Demikian disebutkan dalam
Universal Declaration of Human Rights. Berdasarkan itu, kita nyatakan kepada masyarakat dunia internasional bahwa kita hendak berhukum dengan sistem hukum sendiri. Masyarakat internasional wajib menerima perjuangan kita karena keinginan kita ini sah," papar Abdullah Syafiie.
   "
Anak-anakku semua, jika kalian dengar saudara-saudara kalian sudah mati syahid, segera sambung perjuangannya sampai Aceh merdeka. Begitu juga kalau kalian dengar saya sudah mati syahid, lanjutkan perjuangan ini," pinta Abdullah Syafiie mengakhiri amanatnya. _ tim kontras

Sumber: Tabloid Kontras No. 97 Tahun II 9 Agustus - 16 Agustus 2000
Read more
 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.