Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Selasa, 23 November 2010 | 16.56 | 0 Comments

Siapkah GAM Jadi Parpol? Liputan Tabloid Kontras 30 Januari 2001

Masa lalu Aceh memang sudah berlalu dan sudah menjadi sejarah. Salah satu rekaman peristiwa dan suasana Aceh pada tahun 2001 masih bisa dilacak melalui rekaman media. Ini sebuah catatan laporan yang diturunkan oleh Tabloid Kontras  bernomor No. 121 Tahun IV 24 - 30 Januari 2001.    
  
Siapkah GAM Jadi Parpol?

Untuk mewujudkan peran politiknya, akankah GAM jadi partai politik? Atau justru ada cara lain, tanpa harus ikut Pemilu tapi GAM dapat menguasai semua lini pemerintahan di Aceh?

Pernahkah pembaca bayangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ambisius menggapai obsesinya untuk memerdekakan Aceh, termasuk dengan topangan kekuatan senjata, tiba-tiba berubah menjadi entitas yang lembut, demokratis, dan tak lagi apolitis?

Wujud yang demikian hanya mungkin menjelma bila GAM bersungguh- sungguh mengubah format dan corak gerakannya: dari gerakan bersenjata ke gerakan politik.

Bukan rahasia lagi, sebetulnya, bahwa ada perubahan mendasar dalam misi GAM yang dibeberkan pada pertemuan 8-10 Januari lalu di Bavois, Jenewa. Adalah perunding utama GAM, dr Zaini Abdullah yang mengemukakan kabar penting itu bahwa selepas pertemuan Jenewa yang lalu, GAM mengubah pola perjuangannya ke gerakan politik.

Pihak RI, sebagai mitra runding GAM, tampak mensyukuri benar perubahan langgam perjuangan yang bakal dilakoni GAM ke depan itu. Sampai-sampai Menhan Mahfud dan Menko Polsoskam Susilo BY, rela bertindak semacam "Jubir GAM" untuk mengekspose kepada pers di Jakarta tentang perubahan sikap GAM itu. Kedua pejabat tinggi RI itu mencatatnya sebagai perkembangan demokrasi yang menakjubkan. Media nasional dan lokal pun, umumnya menempatkan berita penting itu di halaman depan.
  
Sekretaris Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK) mewakili RI, Kolonel CPM Sulaiman AB menilai, perubahan sikap GAM tersebut sebagai sebuah langkah maju. "Ini suatu kemajuan demokrasi yang sangat berarti di Indonesia," kata putra Aceh yang ikut dalam perundingan ke-4 antara RI dan GAM, 8-11 Januari lalu di Jenewa (Lihat boks hlm 9).

Pada tingkat lokal, di Aceh, pihak RI dan GAM yang duduk di Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK) juga merasa perlu menegaskan kembali suatu komitmen bersama terhadap prinsip-prinsip dasar penyelesaian konflik Aceh. Yakni dengan hanya mengedepankan cara- cara nonviolence (tanpa kekerasan) untuk mencapai tujuan politik dan mencari penyelesaian damai secara demokratis.

Tgk Nashiruddin bin Ahmed dan Drs Ridhwan Karim masing-masing mewakili GAM dan RI yang membuat komitmen bersama itu di Banda Aceh pada 20 Januari 2001, sepakat pula merumuskan sebuah mekanisme untuk kepentingan konsultasi demokrasi di Aceh terhadap isu-isu yang substantif.

Badan pekerja yang mereka bentuk bersama akan mengatur pula sejumlah forum terhadap hal-hal yang substantif, dengan mengundang sejumlah perwakilan dan pimpinan masyarakat Aceh untuk ikut serta. Badan pekerja dimaksud, anggotanya ditunjuk oleh pimpinan masing-masing (RI dan GAM). Tugas utamanya menyiapkan berbagai konsep baru berkaitan dengan masalah keamanan dan konsultasi demokrasi yang akan dibahas dan ditetapkan dalam perundingan lanjutan pada 12-14 Februari 2001 (Lihat boks hlm 8: Yang Bertahan Setelah Jeda Bubar). Perihal konsultasi demokrasi di masa moratorium kekerasan ini menjadi hal yang penting untuk digarisbawahi. Terutama karena, dalam rumpun demokrasi ini, para pihak yang berunding sudah merumuskan beberapa agenda rencana dialog politik RI-GAM. Utamanya menyangkut pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) yang bebas, adil, dan diterima oleh kedua belah pihak untuk menetapkan pemerintahan Aceh.

Menjadi pertanyaan, Pemilu mana yang dimaksudkan? Pertanyaan berikutnya, apakah untuk ikut Pemilu GAM harus menjadi partai politik (Parpol)? Dan, kalau memang benar begitu, siapkah GAM menjadi Parpol?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, patut pula dikemukakan butir lain yang sudah dirumuskan, namun belum disepakati dalam pertemuan RI-GAM yang lalu. Yakni, menyangkut kesempatan GAM dan para pendukung kemerdekaan untuk terlibat dalam proses politik di Aceh, disamping keleluasaan GAM menyampaikan tujuan politiknya secara demokratis. Sejalan dengan itu, kampanye Pemilu di Aceh bakal dilakukan dengan bebas, tanpa intimidasi. Pemantauannya pun dipercayakan kepada lembaga independen.

Kandidat nonpartai
Tapi, yang cukup menarik didiskusikan adalah butir mengenai peserta Pemilu yang menurut rumusan itu, dapat diikuti oleh kandidat nonpartai.

Sampai di sini terasa menggelitik dan mengundang tanda tanya. Apakah untuk ikut Pemilu GAM harus menjadi partai politik, atau justru tak mesti, karena ternyata ada diktum yang membolehkan kandidat nonpartai bisa ikut Pemilu.

Jawaban yang pasti mengenai ini baru akan diputuskan pada perundingan lanjutan 12-14 Februari di Jenewa. Sebelum hal ini dirundingkan tuntas, peluang GAM menjadi Parpol sama besarnya (fifty-fifty) dengan peluang GAM tidak menjadi Parpol, karena ternyata --berdasarkan rancangan di Jenewa-- kandidat nonpartai dibolehkan ikut Pemilu.

Dengan begitu, dimungkinkan pula komposisi DPRD Aceh ditambah jumlahnya, sehingga mengakomodir orang-orang titipan GAM, sebagaimana halnya selama ini berlaku untuk TNI/Polri, bahwa mereka diangkat, bukan dipilih.  

Kemungkinan ini sudah dibayangkan Prof Djamaluddin Ahmad ketika menjawab Kontras, Sabtu (20/1). Menurutnya, banyak langkah dan skenario yang bisa dipilih untuk menampung peran politik GAM di pentas politik Aceh. Salah satunya adalah dengan menambah jumlah anggota DPRD Aceh. Sebutlah kalau sekarang cuma 55 orang, kelak bisa digemukkan menjadi 100 orang. Nah, kursi yang tersisa itu dirembugkan lagi, apakah semuanya untuk GAM atau bagaimana?

Selain itu, yang juga perlu dipikirkan, kata Profesor Djamal yang kini anggota DPRD Aceh, setelah anggota DPRD ditambah, apakah perlu pula gubernur dipilih kembali atau tidak? "Semua itu terserah kesepakatan," kata politisi asal PAN Aceh ini. Gubernur Aceh sekarang, Abdullah Puteh bersikap oke-oke saja terhadap konsensus politik apa pun yang dipilih antara RI dan GAM asalkan dengan itu konflik Aceh reda. Kalau memang harus dilakukan Pemilu lokal di Aceh dengan melibatkan GAM sebagai kontestan, Puteh tampaknya tak keberatan. "Ya, kalau memang itu dianggap lebih baik, mengapa tidak?" ujarnya menjawab Kontras.

Cuma, dia ingatkan, karena Pemilu lokal atau penambahan jumlah anggota DPRD di tingkat I itu tak cukup kalau hanya dibicarakan di kalangan para perunding RI dan GAM, maka keputusan mengenai itu, menurutnya, haruslah diambil di dalam forum yang lebih berwenang, misalnya DPR ataupun MPR.

Bagi Puteh, keputusan politik yang bakal terlahir di Jenewa 14 Februari mendatang sekalipun mungkin dapat mengancam kedudukannya sebagai gubernur definitif, itu pun tak merisaukannya. Itu tergambar dari jawabannya kepada Kontras, "Ndak masalah. Pemilu toh bukan untuk memilih gubernur baru, melainkan untuk memilih wakil rakyat. Tapi,
bisa saja toh wakil rakyat nantinya memilih gubernur baru? Ndak apa-apa," timpalnya.

Di luar isu sentral moratorium, kekhawatiran mengenai akan adanya pemilihan ulang Gubernur Aceh pun kini mengemuka, setelah terungkap adanya dugaan money politic dalam suksesi yang lalu. Bila memang itu terbukti secara yuridis, menurut Baharoedin Yahya, pengamat pemerintahan, suksesi itu dapat digolongkan cacat hukum. Dan konsekuensinya harus diulang.

Kalau gara-gara dua faktor pendorong --masuknya GAM ke parlemen Aceh atau karena terbuktinya skandal money politic-- akankah Puteh maju lagi di bursa suksesi gubernur? "Kita lihat saja nanti. Yang penting, hari ini kita upayakan agar konflik terselesaikan. Sebab, salah satu motivasi saya menjadi gubernur adalah untuk ikut menyelesaikan konflik Aceh. Nah, kalau konflik sudah selesai, barangkali, saya tak terlalu berminat lagi," kata gubernur yang baru memimpin Aceh pada November 2000 ini.

Seusai pertemuan di Jenewa kelak, kemungkinan jabatan gubernur dan Wagub Aceh tetap eksis, sesuatu yang niscaya. Tapi, seperti diasumsikan Profesor Djamal dan Puteh sendiri, bukan tak mungkin DPRD yang jumlahnya lebih tambun itu menghendaki pemilihan kepala daerah yang baru untuk Aceh.

Masalahnya adalah, relakah Fraksi Aceh Merdeka --anggaplah begitu nama fraksi bentukan GAM-- membiarkan Abdullah Puteh tetap sebagai orang nomor satu di Aceh? Tidakkah para politisi dan legislator GAM ikut ambil bagian dalam suksesi untuk menentukan siapa yang paling tepat memimpin Aceh? Dan, yang lebih penting, siapa yang lebih aspiratif menurut GAM.

Di samping itu, ada kemungkinan, nama jabatan kepala daerah tingkat propinsi di Aceh bukan lagi gubernur, melainkan Wali Nanggroe. Dan ini bukan isapan jempol, mengingat di dalam RUU Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang kini segera akan dibahas di DPR-RI, istilah Wali Nanggroe itu memang sengaja dimunculkan. "Saya secara pribadi malah mengusulkan agar Teungku Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe Aceh yang pertama," kata Drs Ir Teuku Saiful Achmad, anggota DPR-RI asal Aceh menjawab Kontras, Senin (22/1).

Alasan Saiful, pimpinan puncak GAM itu bukan saja sudah berjasa mendeklarasikan dan mempopulerkan GAM, tapi bahkan imbas gerakannya itu ikut memberi manfaat bagi rakyat Aceh. Terutama dalam hal ketidakadilan ekonomi yang kini mulai serius direspon pusat. "Nah, wajar kan kalau Teungku Hasan Tirolah yang dinobatkan menjadi WaliNanggroe Aceh yang pertama," tukasnya.

Bukan kepala negara
Cuma, Saiful yang politisi dari PAN Aceh ini mengingatkan, kedudukan wali nanggroe bukanlah berarti kepala negara, melainkan semacam sultan yang memang dikenal dalam khazanah Republik Indonesia. Seperti halnya Sultan Yogyakarta dan Sultan Solo yang masih eksis, namun tidak menangani bidang pemerintahan. Malah, kalau dapat, Wali Nanggroe Aceh itu, menurut Saiful, berkedudukan seperti sultan di Malaysia. Seorang wali nanggroe di Aceh, usul Saiful, tak salahnya diberi kewenangan untuk melantik bupati.

Tapi persoalannya, benarkah GAM berkehendak mengisi saluran-saluran politik di Aceh secara demokratis?

Kalau merujuk pada rencana agenda yang akan didialogkan bulan depan itu, kesannya ya. Namun, Teuku Kamaruzzaman, Jubir Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (KBAK) GAM mengatakan, apa yang dicapai di Jenewa pada 8-10 Januari lalu, bukanlah tawaran pihak GAM, melainkan merupakan konsep demokrasi. Sebab, menurutnya, kalau dalam tawaran GAM memang tak ada istilah otonomi. Kemauan pihak GAM jelas sudah: merdeka langsung! "Jadi, saya pikir, itu hanya semata-mata merupakan kesepakatan kedua pihak untuk sementara," timpal Kamaruzzaman.

Sekarang, menurutnya, masing-masing pihak sedang menganalisis dan membicarakan konsep ini kepada komponennya masing-masing. Kemudian akan dibawa lagi pada perundingan medio Februari di Jenewa. "Yang kita harapkan, perundingan bulan depan itu bisa langsung meratifikasi dan menandatangani konsep-konsep yang disepakati oleh kedua pihak," ujarnya berharap.

Nah, bila masing-masing pihak mau meratifikasi konsep yang disepakati sementara ini, itu artinya Pemilu dengan melibatkan GAM sebagai kontestan akan berlangsung dalam waktu dekat di Aceh. Meski sebetulnya, dimungkinkan pula pengisian wakil-wakil GAM di parlemen Aceh tanpa harus melalui Pemilu. Sebab, bukankah ada diktum yang mengatur bahwa peserta Pemilu --menurut rumusan di Jenewa-- dapat diikuti oleh kandidat nonpartai?

Cuma, Profesor Djamal mengingatkan, kalau kita bicara masalah politik di negara yang demokratis, mau tidak mau, ya menyalurkan aspirasi politik itu tentulah melalui partai politik. "Tak ada alat lain yang lebih pas," kata anggota DPRD Aceh yang sebelumnya Direktur Pusat Jasa Ketenagakerjaan (PJK) Unsyiah ini (lihat boks hlm 7).

Bila rumusan versi Profesor Djamal ini yang dirujuk, maka untuk memainkan peran politiknya, GAM akan segera membentuk Parpol. Bagi banyak orang, itu mungkin mengejutkan. Terutama bagi SIRA yang selama ini memposisikan diri sebagai wadah aspiratif karena melihat di Aceh ada pihak yang nyata-nyata menuntut merdeka, yakni GAM, tapi di sini lain masih ada komponen yang menyatakan ingin tetap bergabung bersama RI, dengan beberapa persyaratan. Misalnya, asal Aceh diberi otonomi khusus dan para pelanggar HAM diadili.

Meski banyak pihak bakal kaget melihat GAM tampil sebagai entitas dan kekuatan politik, tapi tidak demikian halnya bagi Risman A Rachman. Deputi Direktur Walhi Aceh ini sudah sejak lama (setidaknya empat bulan lalu) meramalkan jalan terbaik penyelesaian konflik Aceh adalah dengan mengubah format perjuangan GAM, menjadi pergerakan politik.

Dan untuk itu, Risman sepaham dengan Profesor Djamal, bahwa GAM sebaiknya menjadi partai politik. Risman bahkan sudah mengancang sebuah nama untuk partai bentukan GAM itu. Atjeh Liberation Party namanya. Tatkala GAM masuk legislatif, di parlemen Aceh tetap ada partai-partai RI. Ini lebih merupakan koalisi parta-partai Indonesia.

Risman menghendaki adanya semacam pemahaman rekonsiliatif bersama dari semua pihak untuk mengeyahkan motif-motif kekerasan di Aceh dan kesiapan berdamai. Untuk itu, dia merekomendasikan penegakan hukum sebagai penjaga kelangsungan rekonsiliasi itu. Mungkinkah? "Nothing is impossible," tukasnya.

Dalam konteks ini pula, kata Risman, konflik di Aceh tak bisa dilihat semata-mata dari kepentingan untuk mempercepat berakhirnya konflik, melainkan juga harus dicermati dari sisi kepentingan politik mereka yang terlibat langsung atau tak langsung dengan konflik di Aceh.

Atas dasar itulah alumnus IAIN Ar-Raniry ini sampai pada penilaian bahwa kesediaan pihak GAM berjuang lewat gerakan politik sebagaimana tercermin dalam moratorium of violence, adalah suatu keputusan yang cerdas. Terutama karena didasari sepenuhnya oleh pertimbangan untuk mengakhiri tindak kekerasan.

Kesediaan pihak GAM ini, katanya lebih lanjut, harus mendapat penghormatan tinggi, karena akan memberi keleluasaan padanya untuk berjuang bagi kemerdekaan. Sementara, dari pihak Pemerintah RI juga dengan langkah yang sama: mempertahankan integritas Aceh sebagai wilayah Indonesia dengan cara politik pula.

Lalu, untuk mencegah tindakan apolitis dan untuk menjamin kedua pihak agar tetap berada dalam koridor gerakan politik, sekaligus untuk mempercepat rentang waktu penyelesaian konflik, maka gerakan politik harus diikat dalam suatu perjanjian yang ketat, jelas, dan terukur. Format dan bentuk kesepakatan baru itu diusulkan Risman dengan nama "Piagam Kemanusiaan". Tujuannya untuk semakin mempertegas komitmen kedua pihak terhadap HAM sebagai kerangka acuan bagi proses dialog yang demokratis dan berwawasan humanitas (Baca: Sebuah Piagam untuk Manusia Aceh, hlm 6).

Secara konsepsi, apa yang digagaskan Risman yang kelahiran Meulaboh itu, terasa cukup ideal. Tapi, itu pun kalau memang benar GAM mau tetap berada di bawah naungan NKRI dengan konsesi: bersama-sama RI menetapkan pemerintahan Aceh dan GAM diberi keleluasaan menyampaikan tujuan politiknya dengan cara demokratis.

Tapi, asumsi dan harapan itu segera buyar tatkala Kontras bertanya kepada Abu Sofyan. Menurut Wakil Panglima GAM Wilayah Pase (Aceh Utara) itu, GAM tidak akan sudi membentuk partai politik di Aceh jika kendali politik masih di bawah orbit Indonesia. "Catat itu, bukan kami tidak siap, tapi tidak mau dan itu tidak perlu," katanya Selasa kemarin. "Sama dengan tak maunya kami menyerahkan senjata kepada pihak RI, karena itu tidak diatur dalam pertemuan di Jenewa," ujarnya menambahkan.

GAM yang di lapangan, menurutnya, juga tidak rela bila Teungku Hasan Tiro diposisikan sebagai Wali Nanggroe yang pertama di Aceh, tapi tanpa diberi peran politik dan masih tetap berada di bawah "ketiak" RI. "Sejak awal Teungku Hasan Tiro bukan direncanakan untuk jabatan itu. Yang kami mau, beliau memimpin Aceh yang terlepas sama sekali dari Indonesia-Jawa," kata Abu Sofyan Daud.

Omongan tokoh GAM di lini "tempur" seperti Abu Sofyan, tampaknya serupa tapi tak sama dengan wakil GAM yang ikut di dalam perundingan. Simaklah ucapan Sofyan Ibrahim Tiba SH berikut ini: Benar bahwa akan ada Pemilu untuk menentukan pemerintahan di Aceh. Tetapi harus diingat, itu dilakukan untuk menentukan pemerintah sementara di Aceh, bukan permanen. Lagi pula, jangan mengira dengan pembentukan pemerintahan sementara itu berarti konflik di Aceh segera selesai.

Menurut Sofyan, makna Pemilu yang dibahas di Jenewa tempo hari adalah wahana untuk memilih kembali semua aparatur pemerintahan di Aceh.

Lo, lo, apakah Pemilu dan pemilihan gubernur yang lalu itu tidak demokratis? "Begini, pemimpin sekarang di Aceh itu kan pimpinan dari RI semata. Sedangkan yang akan dipilih ini adalah pemerintahan hasil kesepakatan sementara antara pihak RI dan GAM," jawab dosen Fakultas Hukum Unmuha, Banda Aceh, ini.

Kalau begitu, bagaimana mekanisme pemilihan umumnya? "Itulah yang akan dibicarakan tanggal 12-14 Febuari mendatang di Jenewa," jawab Sofyan tangkas.

Menyinggung soal kemungkinan GAM akan membentuk Parpol untuk bisa terlibat intens dalam proses politik di Aceh, menurut Sofyan, "Bisa saja itu." Soalnya, untuk menyelesaikan masalah Aceh, RI dan GAM sudah sepakat untuk tidak melalui kekerasan. Nah, salah satu cara yang demokratis adalah dengan membentuk partai politik. "Atau boleh juga dengan mendukung partai politik tertentu," kata Sofyan (Baca boks hlm 8).

Hal lain yang istimewa, kata Sofyan, untuk mencerminkan bagaimana demokratisnya Pemilu mengenai pemerintahan sementara di Aceh itu, orang yang tidak dapat ikut dalam Parpol pun boleh maju sebagai kandidat. Seperti pernah terjadi dalam Pemilu Indonesia di tahun 1955. "Itu suatu cara yang sangat demokratis," ujar penulis buku Referendum Aceh dalam Pantauan Hukum ini.

Lalu, apakah semua pengistimewaan (privelese) terhadap GAM ini merupakan trik RI untuk tetap merangkul Aceh dalam haribaannya? Menurut Sofyan, masing-masing pihak memang punya cara-cara dan jebakan-jebakan tersendiri. Tetapi yang telah disepakati pertama adalah tidak ada kekerasan dalam penyelesaian konflik. Itu yang penting. Namun, jangan nanti, menurut Sofyan, Pemerintah RI sudah setuju tidak melakukan kekerasan, e, tetapi di luar masih saja ada kekerasan. Itu tidak boleh.

Dan, kalau itu dilakukan, berarti RI-lah yang masuk ke dalam jebakan GAM. Tapi, mustahil rasanya RI tidak menyiapkan jebakan pula buat GAM. Ya, namanya saja sudah sepakat memilih bermain politik. Maka, bersiaplah menanggung segala konsekuensinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.