Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Senin, 11 Oktober 2010 | 15.04 | 2 Comments

Menjaring Pemimpin Aceh

Saya baru saja usai membaca "Fellowship of The Ring" bagian pertama dari novel trilogi "The Lord of The Ring" kala bermaksud menanggapi ulang tulisan Jarjani Usman "Pemimpin Oplosan" (SI, 02/10/2010) dan juga tulisan Mariska Lubis "Dilema Pemimpin Aceh" (SI, 06/10/2010).



Tentu saja saya tidak bermaksud untuk menyamakan Aceh dengan negeri Middle-Earth yang ingin dikuasi oleh Sauron, Sang Penguasa Kegelapan melalui cincin The One Ring sebagaimana dikisahkan dalam karya hasil imajinasi J.R.R Tolkien, seorang Profesor Anglo-Saxon di Oxford University (England) sebagai landasan pikir guna menanggapi  balik kedua sosok penulis aktif di atas. Meski begitu,  novel yang sama suksesnya dengan film LotR ini betul-betul menginspirasi saya dan karena itu ingin menjadikannya sebagai sandingan argumen logik kedua penulis khususnya dalam mendalami lebih luas tentang apa itu pemimpin dan apa yang senyatanya disebut sebagai tantangan di tengah dinamika keacehan saat ini. 



Tidak hanya inspirasi dari novel atau film LotR saja, ada beberapa kisah yang saya dengarkan dari “pembaca makna” novel lain, juga akan saya pakai. Sungguh, bukan untuk menandingi jalan pikiran apalagi bermaksud agar tampil beda dari apa yang sudah ditanggapi oleh kedua penulis. Saya sangat menghormati kedua tanggapan yang ada. Saya hanya ingin mendorong agar semakin lebih berani berimajinasi tentang Aceh sehingga seluruh pikiran yang sudah ada tentang Aceh tidak menjadi sebuah kekuatan yang terus saja menghegemoni cara berpikir Ureung Aceh, sebagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh cincin The One Ring. Hanya dengan begitu, spirit keacehan yang selama ini hanya menyala dari satu sumbu saja juga bisa nyala dari sumbu lainnya. Dengan cara ini, diharapkan akan lebih banyak lagi inspirasi yang muncul dari semua sago keacehan, termasuk inspirasi untuk tampil sebagai pemimpin. 



Terus terang, cara ini tidak dimaksudkan untuk menghindari ajakan Jarjani tentang pentingnya melakukan identifikasi tantangan keacehan. Hal itu tentu penting dan memang lazim dilakukan oleh organisasi. Tapi, yang saya tahu, pendekatan untuk identifikasi tantangan pelan-pelan sudah ditinggal dan beralih ke pendekatan appreciative inquiry (AI). Dalam AI, tantangan terpenting justru pada bagaimana menggali inspirasi, apresiasi, dan imaginasi yang dalam pemahaman rendahan saya bisa kita gali dari spirit dan etik kehambaan kita sebagai khalifah bumi.



You Can Inspire

”Untuk mencapai satu tujuan yang sama mestinya semua praktek pemilihan memberi dorongan bagi semua untuk tampil menjadi diri yang berani dan sekaligus memiliki jiwa yang mengapresiasi.”.

Setidaknya itulah pesan kuat yang bisa tertangkap dari pertemuan semua ras di Revendell yang kemudian membangun keberanian Frodo untuk mengusulkan diri menjadi pembawa cincin paling berbahaya itu ke pengunungan Mordor untuk dimusnahkan. Keberanian Frodo yang sempat diragukan karena ia hanya seorang Hobbit justru diapresiasi yang kemudian menginspirasi terbentuknya persekutuan (Fellowship of The Ring) yang beranggotakan semua ras ”baik”. 



Dengan visi, tekad, kerjasama, dan pengawasan serta asah pengalaman di sepanjang perjalanan itulah segenap rintangan dihadapi. Sungguh, tantangan terbesar itu bukan pada bala pasukan Sauron melainkan pada godaan yang ada pada diri mereka sendiri. Sedikit saja Frodo tergoda oleh kuasa yang ada pada cincin maka musnahlah sudah visi mereka semua. 



Andai semangat Revendell itu berlaku juga di Verandah Aceh tentu akan lebih banyak lagi muncul inspirator Aceh dari semua sago dan tidak harus langsung terpatahkan hanya karena pengaruh alam pikiran dan perasaan keacehan yang sudah dibentuk sedemikian rupa seperti saat ini dalam praktek politik awak blah deh dan awak blah nyoe atau awak kamoe dan awak gob. 



Persepsi yang terus ada ini pada akhirnya membuat tidak ada rasa percaya diri dan keinginan untuk bisa tampil dan maju. Ibarat seorang pengemis dalam kisah humor menggelitik dalam buku “The Overcoat” karya Nikolai Gogol, seorang penulis Rusia, yang berkeinginan untuk memiliki mantel hangat guna menghangatkan tubuhnya di kala musim dingin tiba. Sayangnya, ia terbelenggu sendiri dengan jati dirinya sebagai seorang pengemis dan menempatkan keinginannya sebagai mimpi belaka. 



Mentalitas pengemis pada akhirnya membuat dirinya lebih memilih untuk pasrah dan menyerah begitu saja, dan tetap menjadi seorang pengemis yang menderita karena kedinginan.



Topeng Pemimpin

Sebenarnya belum tentu demikian ceritanya bila pengemis itu mau menantang diri dan lingkungannya mengapresiasi mesti itu baru sekedar mimpi belaka. Soalnya, banyak juga yang terlalu percaya diri dan yakin bahwa dirinya adalah pemimpin tetapi sebenarnya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Seperti yang dikisahkan dalam buku berjudul “The Death of Vishnu”, yang dibuat oleh Manil Suri, seorang Profesor matematika muda India berdomisili di Amerika Serikat.



Dengan latar belakang budaya sosial masyarakat India, dikisahkan seorang pria yang menjadi Vishnu, sang penyelamat, padahal dia hanyalah seorang yang berpura-pura menjadi Vishnu.  Dia hanya seorang pemalas yang hanya ingin kesenangan dan kenikmatan  bersama para gadis perawan desa di tempat yang lugu dan polos.

Terbukti sewaktu dia kemudian berada di tempat yang lain, dia tidak bisa melakukan aksinya. Topeng itu tidak bisa digunakannya dan dia juga tidak mungkin lagi untuk kembali ke daerah asalnya semula karena mereka di sana sudah mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Di akhir kisah, diceritakan pada akhirnya dia menderita dalam sengsara. Bukan dalam penderitaan harta tetapi batin karena diliputi kecemasan, takut, dan rasa malu. Biar bagaimanapun juga dia tahu dia memang telah berbuat salah dan menipu.



Rasa bersalah ini juga yang seorang saudagar dalam salah satu kisah di buku ini menjadi penuh ketakutan dan kecemasan. Dia sangat mudah cemburu kepada istrinya dan juga selalu takut akan dibunuh atau dihabisi lawan-lawannya. Lucunya, dia juga sangat takut tidak masuk nirwana.

Dia tidak lagi yakin dengan agama yang dianutnya dan menganut, berdoa, dan beribadah menurut semua agama.

Dia yang mengaku dan merasa “lebih” dari yang lainnya, ternyata terbukti juga sebenarnya hanya berpura-pura saja. Kebaikan yang digembar-gemborkan untuk mendapatkan simpati dan pujian ternyata hanyalah omong kosong belaka. Sewaktu ada seorang miskin dari kasta yang lebih rendah dan meminta bantuan pun mereka hanya bisa saling tunjuk. Tidak ada yang mau bertanggungjawab bahkan untuk urusan membayar ambulance dan biaya pemakaman.

Politik Perubahan

Lain lagi dengan kisah dalam “The Cairo Trilogy" karya Naguib Mahfouz, seorang penulis terkenal dari Mesir. Dilatarbelakangi keadaan Mesir yang Islami, dikisahkan seorang pria yang merasa dia adalah benar-benar seorang pemimpin sejati. Benar dia kemudian menjadi seorang pemimpin tetapi dia lupa bahwa perubahan di dalam kehidupan itu terus berjalan. Masyarakat yang tadinya bermental “jajahan” telah berubah dan pola kepemimpinan feodalisme yang otoriter itu tidak bisa lagi diterapkan.

Sadar tidak mampu memimpin namun terlalu angkuh untuk mengakuinya dan meletakkan jabatan. Sampai pada akhirnya, digulingkan oleh “anaknya” sendiri yang merasa malu karena apa yang diucapkan oleh ayahnya itu berbeda sekali dengan apa yang diterapkan dan dilaksanakan. Perubahan yang dijanjikan itu hanyalah sekedar janji karena pada fakta dan kenyataannya, sebagai seorang pemimpin, dia pun tidak siap menghadapi perubahan.



Memetik kisah dari buku-buku ini, pemimpin tentunya tidak berarti harus berdasarkan keturunan hebat, ras unggul atau dari wilayah utama. Siapapun bisa menjadi seorang pemimpin selama memang memiliki keberanian, kesiapan, bertanggungjawab, mampu menjaga amanah yang diberikan serta didukung dan mendapat dukungan dari semua. Kadang, lebih baik mereka berasal dari yang tersisihkan dan dibuang tetapi memang benar-benar mampu daripada yang berasal dari yang “dianggap mampu” namun ternyata hanya seolah-olah mampu atau dibuat seolah-olah mampu hanya karena dia awak kamoe.



Masih mau bertanya apa yang menjadi tantangan keacehan terbesar dari waktu ke waktu? Semoga saya memiliki kesempatan untuk berkisah atau mementaskan secara lebih leluasa di lain waktu  dalam “Hikayat Nanggroe Kareung.” Insya Allah.

Risman A Rachman

Sumber Foto di sini

2 komentar:

Roys Vahlevi mengatakan...

Semoga Hikayat ke Depan Bercerita tentang "The Lord of Risman A Rachman From ATJEH". Untuk Perubahan...Bung Risman Layak Memimpin Aceh..

Anonim mengatakan...

saya sependapat dengan roys... semoga saja saya bisa menyaksikan abang menjadi pemimpin Aceh...

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.