“Setiap orang berpeluang menjadi imam. Tapi, tidak semua orang bisa menjadi imam di Mesjid Raya Baiturrahman. “
Apakah kalimat pernyataan itu, berlebihan? Atau, pertanyaan lebih esensial adalah apakah Mesjid Raya Baiturrahman telah mengingkari hak-hak muslim untuk menjadi imam?
Saya tentu tidak punya kompetensi untuk mengatakan ia atau tidak. Tapi faktanya itulah kebiasan yang kemudian menjadi tradisi yang dipandang baik dan karenanya terus dipraktekkan.
Saya belum melihat ada imam independen yang segera berdiri di depan sebelum atau usai muadzin mengkumandangkan azan. Atau sebaliknya, ada jamaah yang mempersilahkan seoarang yang dipandang cakap dan mampu menjadi imam untuk berdiri di depan memimpin shalat jamaah.
Mungkin, baru menjadi tanda tanya manakala imam mesjid kebanggaan Aceh itu hanya itu-itu saja dan baru berganti manakala sang imam sakit, tidak berada di tempat, atau meninggal dunia.
Mungkin, akan menjadi pertanyaan manakala mesjid bersejarah itu tidak menyediakan “jalan” bagi orang-orang yang berpotensi menjadi imam baik karena kecakapannya maupun karena kepercayaan banyak orang.
Pertanyaan penting bagi pengurus Mesjid Raya adalah apakah ada mekanisme atau tradisi yang memungkinkan orang-orang untuk bisa juga menjadi imam? Pertanyaan yang sama pada setiap muslim sama yakni apakah sebagai muslim mereka sudah membangun kesalehan keislaman (iman, ilmu, amal) yang bisa menjadi modal untuk menjadi imam?
Jika tidak bagaimana? Apa yang harus dilakukan sebagai tindakan yang adil dan bijak? Apakah dengan mendirikan mesjid raya tandingan? Mungkin kita bisa mengajukan argumentasi bahwa banyak mesjid lebih bagus dari segi syiar. Mesjid sebagai salah satu panji umat Islam akan kelihatan meriah dan gagah. Tapi ketika satu pertanyaan praktis diajukan maka realitas simbolik akan segera menjadi lemah, yakni apakah lebih baik banyak mesjid tapi sedikit jamaahnya dan lemah imamnya atau sedikit mesjid tapi terkelola dengan baik?
Saya tidak ingin menjawab yang terakhirlah yang lebih baik karena faktanya banyak sekali mesjid yang tidak terkelola dengan baik sebagaimana semestinya sebuah mesjid.
Dalam konteks imam saya lebih ingin mendorong agar mesjid yang ada dimaksimalkan peran, fungsi, sistem, dan mekanismenya sehingga setiap muslim yang sudah membangun kesalehan keislaman (iman, ilmu, amal) dapat memungkinkan untuk menjadi imam. Sebaliknya, menganjurkan agar setiap muslim “berlomba-lomba” dalam melakukan kesalehan keislaman agar makmum menjadi lebih tenang dalam shalatnya.
Saya tidak bisa membayangkan jika setiap orang yang ingin atau diingini menjadi imam akan memilih mendirikan mesjid dan terus mendirikan mesjid karena tidak ada jalan yang disediakan oleh pengurus mesjid yang sudah ada. Pasti imam dan jamaahnya akan kesulitan. Imam lelah dalam membangun keyakinan jamaah agar mau menyumbang untuk pendirian mesjid. Panitia mesjid akan akan lebih banyak “bergerilya” untuk menyebarkan proposal pembangunan mesjid. Dan jamaahpun akan terbebani diantara amal dan keadaan hidup.
Lantas, apa solusi terbaiknya? Menyediakan mekanisme rekruetmen imam dari calon independen? Atau, mendorong mesjid untuk membangun mekanisme rekrutmen imam yang terbuka bagi semua muslim?
Tentu kedua solusi yang ada sah dan karenanya masing-masing punya argumentasi. Bagi penganut paham calon independen mungkin bisa berargumen bahwa setiap muslim berhak untuk dipilih menjadi imam dan untuk menjadi imam tidak harus menjadi pengurus mesjid dulu. Bila perlu bisa dikemukan argumen penguat dengan mengatakan “bukankan hamparan bumi Tuhan ini adalah mesjid?”
Tapi bagaimana jika solusinya adalah mesjid yang ada menyediakan mekanisme rekrutmen calon imam yang dalam pemilihannya dibuka untuk setiap orang yang ingin dan diinginkan menjadi imam. Dalam pemilihan itu akan diuji kompetensinya dan dilihat tingkat dukungannya jika ada lebih dari satu calon imam.
Saya tentu akan memilih cara yang kedua mengingat pentingnya makna penguatan mesjid sebagai pusat keislaman bagi Aceh. Bisa jadi ada yang mengajukan argumen masa lalu bahwa mesjid yang ada tidak menampung pluralitas keberagamaan umat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa waktu senantiasa menyediakan ruang bagi perubahan dan perbaikan. Masa boleh menjadi alat pertimbangan tapi tidak boleh menjadi alasan untuk menghukum karena setiap masa memberi ruang bagi terjadinya hal yang sama pada siapapun. Baik imam dari mesjid maupun imam dari calon independen berpotensi salah.
Karena itulah, spirit yang indah itu tekanannya bukan pada bagaimana merekruet sang imam melainkan pada bagaimana mesjid yang sudah ada dan didukung oleh jamaah dan warga memiliki watak, spirit, dan prilaku yang menjamin hadirnya manfaat yang besar bagi jamaah, warga, dan syiar Islam dan harumnya daerah.
***
Sungguh, seluruh paparan di atas hanyalah sebagai perumpamaan untuk mendiskusikan wacana tentang calon independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh yang menurut warta media harian ini (28/9) sedang diperjuangkan baik melalui MK untuk pembatalan pasal 256 UUPA maupun melalui rancangan qanun pemilihan kepala daerah.
Dengan perumpaan di atas saya ingin mengatakan lebih utama untuk mendorong partai politik yang sudah ada dan mendapat kepercayaan rakyat agar menjalankan apa yang disebut agenda aksi perubahan politik dan politik perubahan.
Salah satu agenda aksi yang bisa dilakukan adalah semua partai politik didorong untuk mentradisikan gelar konvensi atau duek pakat parte dalam rekruetmen calon gubernur dan atau bupati/walikota guna memilih putra dan putri terbaik untuk menjadi calon dalam pilkada di Aceh. Pada saat yang sama semua aneuk agam - inoeng jroeh Aceh di dorong untuk "berlomba-lomba" dalam politik perubahan (kesalehan sosial) sebagai modal untuk menuju konvensi atau duek pakat parte.
Sungguh, jika tradisi ini bisa dikembangkan di Aceh maka Aceh akan kembali menjadi "kiblat" sekaligus "imam" bagi perubahan politik dan politik perubahan dan tidak hanya sekedar pernah menjadi rujukan soal calon independen. Semoga
Risman A Rachman
Sumber foto di sini
Mengenal Sabun Transparan Adev Natural Lebih Dekat
6 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar