Klik Versi Mobile

Add rismanrachman Mippin widget
Artikel Politik Agenda Politik Tokoh Politik negeritanpabendera
Alif Jim Ha Tradisi Puisi Cerita Humor Sosok
Islam Aceh Sufi Kisah Qanun Syariat
Resto Enak di Banda Aceh Hotel di Banda Aceh Kuliner Aceh Souvenir Aceh Warung Kopi Tsunami Aceh Konflik Aceh

HEADLINE

Senin, 15 November 2010 | 11.41 | 0 Comments

Kunjungan Sunyi Sang Martti Ahtisaari ke Aceh

Martti Menerima Nobel Peace
Martti Ahtisaari datang lagi ke Aceh. Tidak seperti kedatangan sebelumnya, kali ini terasa sepi. Tidak banyak pewartaan dan juga tidak banyak sambutan, khususnya dari berbagai elemen masyarakat.

Mengapa? Adakah ini karena sebahagian besar wilayah di Aceh sedang dilanda banjir? Adakah ini karena Indonesia sedang tercekam bencana? Adakah ini karena Aceh sudah damai total?

Atau, jangan-jangan malah sebaliknya. Kehadiran Martti sudah tidak ada maknanya karena persoalan implementasi dan singkronisasi UUPA dengan MoU Helsinki tidak juga teratasi, padahal usia damai Aceh sudah berusia lima tahun lebih.

Dari tajuk rencana Harian Serambi Indonesia diketahui bahwa "Dari 71 pasal MoU Helsinki, sekitar 13 pasal lagi belum terealisasi. Misalnya, belum terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta Komisi Bersama Penyelesaian Klaim di Aceh. Para eks kombatan GAM juga belum mendapatkan tanah pertanian yang pantas. Provinsi istimewa ini malah belum memiliki bendera, lambang, maupun himne sendiri, sebagaimana diatur dalam MoU. Bahkan batas antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara berdasarkan risalah 1 Juli 1956 juga belum jelas juntrungannya."

Lebih lanjut Serambi Indonesia juga mencatat bahwa "Di luar itu, kalangan GAM masih belum lupa bahwa ada 17 item yang mereka nilai belum sinkron antara MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Masih sering pula dipertanyakan nasib sejumlah napol dan tapol terkait GAM yang hingga kini belum mendapat amnesti umum dan masih mendekam di penjara, sementara teman-teman mereka ada yang sudah menjadi kepala atau wakil kepala daerah, menjadi legislator, dan tak sedikit pula yang kini hidup makmur sebagai pengusaha."

Tidak bisa juga dipungkiri bahwa persoalan MoU Helsinki juga sudah mulai ditarik ke persoalan-persoalan yang lebih substansial meski masih sebatas persepsi. Namun, ketika persepsi dibiarkan tanpa ada penjelasan yang memadai maka bisa jadi persepsi itu berkembang ke arah prasangka. Misalnya, sudah mulai ada lagi perasaan Aceh ditipu lagi, Martti Ahtisaari ternyata tidak netral dan sangat memihak Indonesia dalam perundingan, hasil perundingan ternyata hanya soal ganti nama saja dari otonomi ke self-goverment, dan soal-soal korupsi idiologi.

Kalau semua itu ada benarnya maka bisa saja terjadi apa yang dinyatakan oleh Direktur Penguatan Kapasitas Reintegrasi Irhamna Yusra SAg MA di seminar MoU Helsinki dalam Perspektif Reintegrasi, yang digelar Badan Reintegrasi Aceh (BRA), di Hotel Oasis, Banda Aceh, Sabtu (13/11)bahwa “Jika masyarakat tidak merasakan adanya perdamaian yang sempurna, akan mengakibatkan sikap apatis pada setiap kegiatan yang dilakukannya. Sikap ini yang kita takutkan akan memberi pengaruh negatif pada proses perdamaian dan pembangunan di Aceh.”

Pertanyaannya, mengapa kehadiran Martti seperti sebuah kunjungan sunyi? Mengapa ragam tuntutan terkait singkronisasi dan implementasi MoU Helsinki terabaikan dan mengapa pada saat yang sama Martti ingin menggunakan forum Aceh International Business Summit (AIBS) 2010 untuk menyatakan Aceh sudah damai total? padahal pada saat yang sama sambutan atas kehadirannya sangat sunyi dan ada banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan itu berarti bisa menjadi jalan melingkar menuju perulangan konflik? Jawabannya bisa jadi karena tidak ada yang disebut indikator perdamaian Aceh.

Bersambung ke soal Indikator Perdamaian Aceh

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright rismanrachman © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.